Untuk Apa Menikah? Menikah Dengan Sadar Menurut Pakar Pernikahan: Rani Anggraeni Dewi

Raysa Lestianti
5 min readApr 6, 2021
Photo by freestocks on Unsplash

Sudah berjalan 6 bulan usia pernikahan saya dan suami. Sejauh perjalanan ini, kami merasa sangat bahagia. Kebutuhan materil dan emosional terpenuhi dengan baik meskipun kami belum memiliki pendapatan yang tetap.

Namun, belakangan ini terjadi suatu kejadian yang cukup membuat saya kembali merenungi makna dari pernikahan kami. Saya merasa pernikahan kami sangat berharga, pernikahan ini penuh dengan perjuangan dan apabila terdapat kekurangannya, mungkin bisa ditelusuri dan dipahami kembali untuk menjadi pembelajaran bagi kami berdua agar pernikahan kami lebih baik lagi.

Saya pun mulai melakukan riset dan mengamati hal- hal di sekitar kami secara lebih intens. Jika berbicara tentang pernikahan maka fokus dari perhatian adalah tentang dua individu dalam pernikahan itu yakni individu istri dan suami, dan jika berbicara soal individu maka didalamnya terdapat hak dan kewajiban masing- masing individu.

Saya tak sengaja menemukan podcast Pakar Pernikahan Rani Anggraeni Dewi tersebut ketika menjadi pembicara dalam webinar bersama Parentalk ID dan dari obrolan tersebut, saya mendapatkan banyak sekali pengetahuan yang mematangkan dan mengokohkan lagi apa yang sudah saya ketahui.

Ibu Rani adalah seorang konsultan pernikahan yang sudah banyak sekali menangani masalah pernikahan di Indonesia. Hal penting yang saya sukai dari cara berfikir beliau adalah beliau benar- benar menunjukan bahwa beliau adalah seorang yang ahli dalam bidang tersebut dan terlebih menurut saya beliau juga pemikir yang mendalam. Hal ini terlihat dari pernyataan dan pesan- pesan yang beliau sampaikan, merupakan pesan- pesan yang kita butuhkan karena timbul dari pertanyaan- pertanyaan eksistensial kita sebagai manusia.

Secara ilmiah seperti yang dikutip dalam Jurnal Positive Psychology, pernikahan dapat memberikan kebahagiaan. Lantas, pernikahan seperti apa yang dapat memberikan kebahagiaan itu?

Menurut Pakar Pernikahan Rani Anggraeni Dewi, pernikahan yang membahagiakan adalah pernikahan yang dibangun dengan relationship yang sehat dan tidak toksik, hubungan yang didalamnya terdapat welas asih dan kesetaraan, serta adanya supporting system.

Alasan tersebut beliau sampaikan adalah alasan yang sangat perlu dipertimbangkan sebagai alasan kita menikah, jika tujuan menikah kita adalah untuk bahagia.

Dalam memilih pasangan dalam pernikahan kita sering kali melihat orang yang memiliki titel, memiliki keluarga yang baik, memiliki fisik yang kita sukai, memiliki pekerjaan yang mapan. Menurut Pakar itu tidak salah, namun perlu disadari bahwa hal- hal yang disebutkan tadi adalah penyebab-penyebab eksternal yang belum tentu seperti itu.

Menikah adalah membangun institusi, maka perlu adanya visi dan misi, apa yang menjadi modalnya. Ketidak-cocokan dalam pernikahan pasti ada, karena pernikahan adalah membangun institusi maka dua individu tersebut harus siap untuk berubah dan bertumbuh.

Bagi pakar, menikah itu ada ilmunya. Jika kita ingin sukses dan menguasainya, maka kita perlu terus mempelajarinya. Menikah adalah bagaimana menjadi pasangan yang tepat bagi pasangan kita, saling menyesuaikan diri dan tumbuh.

Jika mengutip dari pernyataan ilmuwan bidang psikologi, “Intimate relationship is a interpersonal relationship that involves not only physical intimacy but also supporting system for facing through obstacles and uncertainty in this complex life”.

“This intimate relationship is like an immune booster to reach resilience and positivity”.

The intimate relationship consist of the good way of communication, the basic emotion needs, the equal partnership.

Dan sebagai kaum milenial, kita butuh intimate based relationship ini.

Lalu, what is the meaning of equal? itu berarti kita memiliki hak yang sama, hak yang sama untuk berkembang, hak yang sama untuk memutuskan, hak untuk memilih dan hak untuk berbicara. Menyadari dengan penuh bahwa mengurus kebutuhan domestik adalah kebutuhan bersama dan suami istri mempunyai hak yang sama dalam fungsi sosialnya.

Kutipan seorang psikolog yang menurut saya sangat baik dan memotivasi serta mengingatkan kita bahwa pernikahan adalah sebuah perjalanan hidup yaitu

“ Marriage is spiritual journey into self realization” — Anonym

What is the meaning of equal? it means we have the same right to self development, right to decide, right to talk. Mengurus kebutuhan domestik adalah kebutuhan bersama dan mempunyai hak dalam fungsi sosialnya.

Menarik berbicara soal conscious marriage yang di dalamnya terdapat value-based partnership di mana kedua pasangan mengedepankan kesetaraan dalam hubungan.

Secara tidak sadar, ketika memutuskan untuk menikah dengan seseorang, kita melihat sosok seseorang ini mampu memenuhi kebutuhan masa kecil kita yang tidak sempat terpenuhi. Contohnya? Jika dulu kita tidak terpenuhi hak untuk didengarkan maka ketika kita menikah dan memiliki pasangan kita cenderung ingin dipenuhi kebutuhan tersebut.

Lalu, bagaimana agar kita bisa paham kebutuhan diri kita atau pasangan kita?

Dalam mengetahui kebutuhan diri itu, sebagai pasangan kita perlu benar- benar menjadi compassion menanyakan kebutuhan itu. Pertanyaan seperti, “ketika kamu bisa kembali ke masa kecil, apa yang ingin kamu katakan ke orangtua kamu?” disitulah kebutuhan dalam hubungan pasangan kamu akan terlihat. Dan sebagai pasangan kita wajib memahami itu jika ingin hubungan pernikahan itu berjalan dengan baik.

“Apakah aku ingin didengarkan? apakah aku ingin dilibatkan diskusi? apakah aku ingin didukung?” seperti itu contoh pertanyaan kepada diri kita sendiri.

Menikah itu untuk bahagia, dan untuk bahagia, kita perlu menyelesaikan kebutuhan emosi kita yang tidak terpenuhi di masa lalu yang menyebabkan nilai- nilai itu tidak ada di diri kita. Jika kita sulit untuk berempati, mungkin sejak kecil kita tidak pernah merasakan empati.

Untuk mewujudkan kebahagiaan dalam menikah kita perlu untuk:

  1. Memiliki cita- cita
  2. Refleksi
  3. Konsultasi

Penyebab konflik rumah tangga antara lain perbedaan values (karakter seseorang, ideologi, adat istiadat, keyakinan), selanjutnya adalah materi atau ekonomi (masalah keuangan, pendapatan) lalu masalah intimacy (berupa masalah kepuasaan dan seksualitas). Namun jika pernikahan tersebut adalah pernikahan conscious atau pernikahan dengan sadar maka masalah lain adalah luka batin di masa kecil, yaitu emosi yang tidak terpenuhi kebutuhannya sehingga ada harapan pasangan tersebut bisa memenuhi kebutuhan itu.

Manusia hidup untuk menuju kesempurnaan dan menikah adalah wadah yang paling baik untuk itu.

It’s not marriage that makes you happy, it’s happy marriage that makes you happy — Best-selling author and Harvard psychology researcher Daniel Gilbert, PhD said.

Married people are happier than unmarried ones, perhaps because the single best predictor of human happiness is the quality of social relationships. “Marriage seems to buy you a decade or more of happiness,” Gilbert said.

Cinta perlu dikembangkan dalam pernikahan, tapi tidak lagi cinta yang hanya dikarenakan physical attraction tapi unconditional love.

Apa itu unconditional love? Cinta ketika kita mampu berkata disertai tindakan untuk pasangan kita, bahwa I have love and they deserve to be loved.

--

--

Raysa Lestianti

On a journey of self-discovery and leading a life with purpose. I write mostly about self, mental health, education, marriage, parenting and life.