Obrolan Tentang Memiliki Anak

Raysa Lestianti
4 min readJul 11, 2022

--

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Perbincangan tentang child free tengah ramai diperbincangkan belakangan ini khususnya di media sosial. Beberapa tokoh influencer dan media- media speak up a lot about it. Tanpa maksud mempengaruhi, bagi saya argumen mereka yang memilih menjadi child free menarik untuk disimak. Dari argumen mereka juga, kita mungkin akan memikirkan kembali alasan dan kesiapan mental kita ketika memilih untuk memiliki anak.

Ya, saya memang setuju memiliki anak adalah pilihan tiap- tiap individu. Dengan perkembangan informasi yang begitu luas serta pemikiran kritis masyarakat dewasa kini terhadap isu- isu rumah tangga dan membesarkan anak, persiapan dan kematangan menjadi hal yang sangat penting.

Kita semua setuju bahwa anak adalah rezeki. Banyak pasangan di luar sana yang menginginkan memiliki keturunan namun belum juga diberikan. Namun bukan berarti memilih tidak memiliki anak adalah wujud dari ketidak-bersyukurnya kita.

Di era modern dan dunia yang tumbuh dengan cepat, dimana persaingan pendidikan dan pekerjaan semakin sulit, lapangan pekerjaan semakin sedikit, menjadikan tiap- tiap kita berkompetisi tiada henti dan membuat masing- masing pasangan memiliki pertimbangannya masing- masing. Dan memang faktanya, kita sebagai manusia tidaklah sama.

Ada sebagian kita yang mungkin cocok dengan kehidupan penuh ambisi dan pencapaian, namun sebagian mungkin tidak merasa full-filled. Preferensi tiap individu juga menjadi lebih luas dan tersegmentasi. Kita semakin merasa memiliki otoritas kita masing- masing dan bebas dalam memilih jalan hidup kita dengan cara kita sendiri untuk bisa bertahan hidup dan bahagia.

Sebagian dari opini mereka yang memilih tidak ingin mempunyai anak, mengutarakan alasan latar belakang keluarga yakni terlahir dari keluarga yang toksik atau broken home, sebagian lainnya berpendapat tentang kebahagiaan diri yang mereka sudah rasa cukup tanpa kehadiran anak, mereka bisa melakukan travelling dengan pasangan, bekerja dan mengejar karir yang mereka inginkan.

Menariknya meskipun mengklaim child free, mereka tetap ingin terus berbagi dengan sesama, membiayai sekolah anak- anak di luar sana yang tidak mampu. Dan bagi saya itu adalah indah.

Secara pribadi saya juga salut kepada mereka yang berani bersuara dan turut berperan aktif dalam masalah over-populated di bumi ini secara langsung, mereka juga mampu melawan stigma masyarakat Indonesia yang sebagian besar tradisionalis. Masyarakat kita yang belum semuanya berpikiran terbuka dan mampu melihat suatu hal dari berbagai sisi.

Lalu, bagaimana ketika pertanyaan itu datang kepada saya sendiri, mengapa ingin memiliki anak? Sebagai perempuan, saya tidak ingin asal menjawab, saya ingin melakukan dan memutuskan segala sesuatunya dengan value dan prinsip. Tentunya saya ingin memutuskan dan menjalani sesuatu dengan pilihan yang menurut saya paling bijak.

Semua ini saya lakukan bukan semata- mata ingin terkesan keren, tapi saya memahami diri saya bahwa menjalani sesuatu dengan prinsip itu membahagiakan saya.

Sebagai pasangan yang senang berdiskusi banyak hal tentunya topik ini tidak luput untuk kami bicarakan. Setelah berbincang panjang dengan suami, saling memahami kelebihan dan kekurangan masing- masing dalam perjalanan pernikahan kami. Keinginan kami memiliki anak adalah karena kami memiliki kebutuhan untuk mencintai, mendidik dan memperjuangkan sesuatu.

Kehadiran anak kami yakini bisa membuat kami merasa lebih berharga sebagai manusia. Saya dan suami senang belajar dan mengajar, kami senang memberi inspirasi. Saya dan suami merasa bersyukur kami memiliki kemampuan, pemikiran, finansial yang sudah cukup untuk melanjutkan perjalanan pernikahan kami ke jenjang berikutnya.

Setelah satu tahun pernikahan kami, saat ini kami berdua yakin untuk mulai mengusahakan memiliki anak untuk melengkapi kebahagiaan kami sebagai keluarga. Saat ini saya sedang hamil dan usia kandungan saya menuju 7 bulan. Semoga janin di dalam kandungan saya terlahir sehat tiada kurang-suatu apapun. Tumbuh menjadi anak yang cerdas, kuat, dan berakhlak mulia.

Dibesarkan dari dua keluarga yang berlatar belakang berbeda, kami membawa value kami masing- masing. Kami memiliki hal positif dan negatif tentang pola asuh yang bisa kami diskusikan berdua. Dan ini adalah fokus kami. Kami ingin belajar dan terus akan belajar menjadi orang tua yang baik. Kami adalah orang- orang yang tidak sempurna, maka kami tidak menginginkan kesempurnaan, kami berharap anak kami kelak menjadi anak yang baik, yang bisa mencintai dan dicintai selayaknya manusia.

Menjadi orang tua berarti siap untuk menjadi pendengar. Saya sendiri memiliki kedua orang tua yang bekerja. Sampai saat ini mereka masih aktif bekerja. Adakalanya saya merasa mereka terlalu sibuk, ada masanya saya semakin mengerti atas pilihan mereka. Setiap orangtua memiliki caranya sendiri untuk menghidupi anak- anaknya.

Hal yang penting dan saya dan suami sepakat adalah seperti kutipan dibawah, “Our kids aren’t bonsai trees, they’re wild flowers of an unknown genus and species. It’s our job to provide a nourishing environment to strengthen them through chores and to love them so they can love others and receive love. To support them in becoming their glorious selves”.

Thank you for reading my article. I am starting my journey to become a writer and content creator. I hope I will write better and we will grow together through sharing ideas.

--

--

Raysa Lestianti

On a journey of self-discovery and leading a life with purpose. I write mostly about self, mental health, education, marriage, parenting and life.