Bukan Sang Bijaksana
--
Saya sadar sekali menginjak usia 22 tahun hingga usia yang mungkin tidak ditentukan bagi saya untuk akhirnya bisa merasakan perubahan dalam pikiran saya ini adalah tidak mudah. Di usia ini saya sering sekali merasakan pergolakan batin dan pergesekan pemikiran dalam diri saya.
Dari berbagai sumber bacaan, pada usia ini dapat dikatakan sebagai usia ketika kita bisa memperoleh sebuah pengalaman tentang rasa kekhawatiran yang mendalam dan adanya krisis eksistensi.
Ketika dahulu, setelah momentum kelulusan sekolah dasar mungkin kita tak sempat berfikir bahkan sebagian dari kita secara otomatis melanjutkan ke pendidikan sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan pada akhirnya kita meneguk pengalaman yang sangat luar biasa yaitu pada tingkat perguruan tinggi, level institusi pendidikan bagi para yang maha’siswa’.
Masih teringat di benak saya, waktu- waktu di sekolah dasar dan menengah pertama saya, banyak dihabiskan untuk belajar tanpa sebab, untuk mengeksplorasi diri tanpa kenal lelah, untuk bertanya tanpa takut, untuk melakukan semua yang saya inginkan dengan penuh antusias.
Banyak hal yang seiring berjalannya waktu, tidak lagi saya lakukan. Waktu kanak- kanak, saya ingin berakting dan bernyanyi di depan cermin, saya ingin berkebun menanam bunga kesukaan saya, saya ingin melukis, menulis apapun yang saya inginkan, bermain boneka, mobil- mobilan, memasak kue, berpetualang di sungai atau sawah ketika berlibur di rumah nenek dan masih banyak lagi yang ketika membayangkannya seakan ingin kembali ke masa itu.
Ya, saya, kamu, kita, mereka melakukan semua itu begitu saja. Ketika itu saya sangat bahagia, setidaknya saya telah mencicipi beberapa pekerjaan orang dewasa yang digambarkan pada list profesi dibuku paket Bahasa Indonesia saya.
Saya juga ingat ketika orangtua saya menanyakan perihal cita- cita ketika saya berusia 7 tahun, saya menjawab “pagi hari aku ingin mengobati orang yang sakit, siang harinya aku ingin membantu orang lain dan menulis buku- buku, malam harinya aku ingin pergi ke bulan, berpetualang di luar angkasa”.
Kita yang kecil dahulu sangat mengingkankan multidimensi dalam kehidupan dewasa kita kelak. Kita bahagia dengan adanya variasi dan keragaman, bukan stagnansi atau rutinitas,
Ketika saya menulis “curahan hati” ini mungkin sebagian dari kita memberikan sebuah kritik dan saran untuk saya berfikir lebih sederhana dan realistis bahwa kita sekarang hidup di dunia neoliberal bukan dunia komunis yang menginginkan kesetaraan.
Sebagian dari kita mungkin tidak paham dengan akar pemikiran ini, “mengapa kamu tidak berfikir apa yang pemikiran seperti ini telah berikan?, “mengapa tidak menanyakan dan mencoba mengeksplorasi sesuatu yang bisa memberikan sebuah revolusi dan inovasi nyata di dunia ini? Seperti penemuan obat- obatan, telefon genggam, internet, mobil listrik, kolonisasi di Mars dan lainnya?
Semua penemuan tersebut terjadi sejak 500 tahun yang lalu, dan jika semua orang memiliki pikiran yang hanya menanyakan sebuah keinginan orang tersebut untuk bahagia secara personal maka kita semua tidak akan sampai titik ini, just do your job, and don’t complain it”.
Topik pembicaraan ini mungkin akan menjadi meluas. Sebuah pertanyaan masih melekat dipikiran saya, “siapa yang sesungguhnya mengatur adanya perbedaan? Mengapa ada jarak antara orang kaya dan orang miskin?”, kita sama- sama dilahirkan dari rahim seorang ibu tapi mengapa tidak semua orang bisa didengar dan diperlakukan dengan cara perlakuan yang sama.
Mengapa adanya batas batas? Apakah ini cara kerja dunia yang dikatakan neoliberal tadi?.
Setelah ditelusuri secara sejarah, konsep spesifikasi dimulai dari pemikiran seorang filsuf dan pengamat ekonomi klasik Adam Smith yang memberikan pandangan ketika setiap orang dibebaskan untuk melakukan apa yang dia inginkan tanpa dilatih menjadi seorang ahli maka pekerjaan dunia tidak akan pernah selesai atau dalam arti tingkat produktivitas sangat rendah.
Dalam dunia perburuhan, ketika terbaginya sebuah divisi- divisi, setiap orang mengerjakan apa yang menjadi spesifikasinya, tujuan utama semakin cepat terselesaikan, karena setiap orang fokus pada apa yang dia lakukan tanpa memikirkan hal hal lain diatas rutinitas tersebut.
Menjadi sebuah pertanyaan bagi saya, melihat kebingungan dari diri seorang fresh graduate. Saya tidak paham apakah kita kurang dibekali “sesuatu” yang membuat kita tidak begitu yakin menjalani hidup dewasa kita pasca gelar yang bersanding di belakang nama kita? Mereka yang belajar filsafat mungkin paham, bahwa kita orang dewasa akan selalu menghadapi kebingungan dan kecemasan, karena kita adalah kompleks dan tidak mudah untuk dimengerti.
Dunia ini memang sudah bebas, Setiap orang dibebaskan mengambil jalan apapun yang dia inginkan, namun perlu digaris bawahi setiap orang tidak dimulai pada garis start yang sama. Ya, hal itu yang membedakan dan membuat setiap orang menjadi unik di jalan mereka masing- masing.
Secara jujur, saya harus mengatakan saya tidak tahan dengan cara kerja sikut- sikutan yang menjatuhkan orang lain untuk menaikkan derajat diri sendiri, saya rindu kompetisi yang sehat, tanpa melihat background orang tua, seberapa banyak uang yang dimiliki, seberapa mahal baju yang dikenakan.
Dan beberapa hal yang sudah sejak awal kita temui dibangku sekolah, seperti orangtua yang menitipkan anaknya kepada seorang guru agar nilai nilai yang ia peroleh baik, orang tua yang rela membayar berjuta-juta untuk seorang anak bisa sekolah di sekolah favorit.
Dari hal ini saya berfikir, apakah orang dewasa sekhawatir itu? Secemas itu terhadap takdir dan kuasa Tuhan bahwa setiap yang berusaha akan diberikan yang sesuai dengan usahanya?
Pertanyaan lain yang muncul di benak saya, mengapa orang miskin lebih banyak merasa menderita dibandingkan orang kaya? Mengapa orang kaya masih bisa lebih merasa bahagia? Seperti yang saya katakan di awal, manusia pada dasarnya menyukai kedinamisan, kita pada dasarnya merasa sangat utuh ketika menjadi wide- ranging endlessly curious generalist. Orang kaya memiliki peluang melakukan banyak hal dibanding orang miskin.
Orang kaya dapat pergi berlibur, menjalankan hobi yang dia inginkan sedangkan orang miskin untuk berfikir apa yang menjadi bahagia dia saja mungkin tidak, yang dipikirkan adalah bagaimana cara dia untuk bertahan hidup Dunia menuntut pemenang yang bisa bertahan menjalani hidup ini, namun sistem pemerintahan tampaknya tidak menginginkan orang miskin menjadi pemenang, sehingga batas- batas akan tetap ada.
Saya tidak bicara secara general, banyak sekali orang dari kalangan bawah yang akhirnya menjadi pemenang, namun saya berbicara pada bagian minoritas tersebut.
Saya akan deskripsikan lebih detail, kebingungan yang saya rasakan dan mungkin kalian juga rasakan. Kita paham bahwa diri kita adalah manusia dengan akal dan kemampuan yang luar biasa, kita adalah manusia multitude.
Namun semakin dewasa, hal- hal yang banyak dapat kita lakukan di masa kecil menjadi perlu dikesampingkan ketika kita sudah dewasa, saya merasa cemas akan hal- hal yang besar yang berpotensi pada diri saya, yang tidak sempat saya gali, yang telah diberikan Tuhan namun saya tidak sadar dan akhirnya saya terlanjur fokus pada satu jalan yang mungkin tidak terlalu berpotensi bagi diri saya walaupun pada akhirnya tetap dapat berkontribusi dalam memperbaiki dunia ini.
Ya, saya, kamu dan kalian sebagai seorang fresh graduate sedang bertarung di area besar untuk menemukan kecocokkan, sebagian gambling untuk bisa bertahan hidup. Tapi sungguh saya ingin menikmati masa- masa berjuang ini, saya tidak ingin proses yang instan.
Teruntuk kalian orang dewasa, kalian pernah dititik ini, saling menguatkan dan berbagi pengalaman akan jauh lebih melegakan dibandingkan menunggu kami mensejajarkan kalian. Berilah kesempatan kami untuk berproses. Jangan hantam kami terlalu dini dengan ekspektasi.
Tidak semua politikus pandai bicara, tidak semua penyanyi bersuara merdu, bukan? Syarat apalagi yang membuat kita perlu merombak ulang kapasitas kita? Kita semua ingin melakukan yang terbaik.
Ya, bekerja dengan mengejar kebahagiaan individu, membebaskan untuk melakukan apa saja tanpa ada spesifikasi atau batas- batas mungkin menjadi khayalan yang tidak nyata sama sekali, karena sebagian besar kita ingin lebih diupah secara besar dibandingkan mencari pekerjaan yang lebih menarik minatnya dengan upah yang tidak seberapa. Bukan begitu?
Pertentangan macam ini pernah terjadi bahkan masih terjadi di antara teman- teman saya, dosen- dosen saya, orangtua dan mungkin hingga nanti adik- adik dan anak anak kita. Satu atau dua atau tiga orang teman saya saat dibangku perkuliahan pernah menyampaikan bahwa sebagai seorang manusia yang bermoral ketika kita sadar terdapat kesalahan dan kecacatan berfikir dalam masyarakat kita sangat perlu untuk meluruskannya.
Kutipan favorit saya dari seorang Mahatma Gandhi, yang juga menjadi salah satu prinsip saya dalam hidup ini yaitu “In a gentle way, you can change the world”, teman- teman saya saat itu yakin bahwa tidak ada yang salah dari mengkritisi sebuah sistem yang pada dasarnya dibuat oleh kepala manusia, jika sistem tersebut menghalangi sebuah pencapaian atau hak mendasar dari seorang manusia yaitu kebahagiaan.
Tentunya, kebahagiaan yang saya maksud bukan lagi soal materi, soal kekuasaan, soal jabatan dan soal hal- hal yang bersifat fisik melainkan kebahagiaan yang datang dari jiwa, yang ketika kita menjalaninya semua terasa seirama, jiwa kita terasa utuh, kita menikmatinya, dan tentunya kita bisa berbagi dengan orang lain.
Tulisan ini tidak berujung pada penyelesaian atau solusi, namun dapat disimpulkan bahwa suffering itu nyata dan orang di luar sana nyatanya tetap “bahagia”. Nyatanya, a wealthy country is more important than personal fulfillment.
Semakin dewasa mungkin kita akan sadar bahwa ternyata kita bahagia. Kita sadar bahwa apapun yang kita lakukan, bagian- bagian potensi yang ada di diri kita harus menjadi tidak berkembang dan akhirnya mati untuk bahkan pernah diberi kesempatan berkembang demi keuntungan nyata dalam berfokus pada spesialisasi.
Di akhir tulisan izinkan saya menuliskan kutipan sebuah novel karangan Sylvia Plath yang berjudul The Bell Jar.
“…… I saw my life branching out before me like the green fig tree in the story. From the tip of every branch, like a fat purple fig, a wonderful future beckoned and winked.
One fig was a husband and a happy home and children, and another fig was a famous poet and another fig was a brilliant professor, and another fig was Ea Gee, the amazing editor, and another fig was Europe and Africa, and South America, and another fig was an Olympic and Socrates and Attila and a pack of other lovers with a queer names and offbeat professionals, and another fig was an Olympic Lady crew champion, and beyond and above these figs were many more figs I couldn’t quite make out.
I saw myself sitting in the crotch of this fig tree, starving to death, just because I couldn’t make up my mind which of the figs I would I choose.
I wanted each and every one of them but choosing meant losing all the rest of my life, and, as I sat there, unable to decide, the figs began to wrinkle and go black, and, one by one, they plopped to the ground of my feet…”.
Dari kutipan diatas dihalaman berikutnya, Easter, sang tokoh protagonist menyimpulkan “might well have arisen from the profound void of an empty stomach”
This is where we all begin.
Is that okay to be depressed about being trapped in a repetitive thing or job because everyone else is and that’s just how life is? That’s pretty morbid.
Thank you for reading my article. I am starting my journey to become a writer and content creator. I hope I will write better and we will grow together through sharing ideas. Visit my blog https://dearmemind.com.